Hingga Rabu (27/2/2013), Sungai Batanghari yang meluap belum surut juga.
Luapan air bah itu merendam sekitar 200 desa/kelurahan di Kota Jambi,
Kabupaten Muaro Jambi, Batanghari, Tebo, Sarolangun, Merangin, dan
Kerinci.
Renggo (40), warga Desa Pudak, Kecamatan Kumpeh Ulo,
Kabupaten Muaro Jambi, merasakan beratnya berhadapan dengan air bah itu.
Namun, saat dikunjungi, ia justru melepas jaring tangkul di tangannya.
Sejumlah ikan meloncat. Ia beranjak membantu kami memijak kayu melewati
hamparan banjir.
Genangan air itu berwarna hitam pekat karena
bercampur tanah gambut. ”Hati-hati. Saya ngeri kalau kalian terkena
gigit ular,” ujarnya.
Sejak banjir menggenangi rumahnya hingga
ketinggian satu meter, sudah tiga kali dia dan istrinya mendapati ular.
Istrinya sampai tidak berani lagi turun ke air. Padahal, sekeliling
mereka yang merupakan areal persawahan sudah kebanjiran lebih dari
sepekan.
Banjir itu bukan karena hujan tak kunjung berhenti,
melainkan karena luapan air Sungai Batanghari di kawasan hulu meluas
hingga ke hilir. Desa Pudak terletak di hilir. Banjir di Pudak
menggenangi persawahan dan masuk ke rumah-rumah warga.
Petugas
dari Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi membangun tenda darurat di halaman
kantor Kecamatan Kumpeh Ulu. Namun, warga tidak mengungsi. Mereka
bertahan tinggal di sekitar rumah, termasuk Renggo.
Renggo, yang
mengetahui air terus meninggi, bukannya mengungsi, melainkan langsung
menyelamatkan kasur tipisnya, televisi 14 inci, kompor, peralatan
memasak, dan pakaian ke kandang sapinya. Jarak kandang itu sekitar 10
meter dari rumah kayunya, yang berukuran 5 meter x 6 meter. ”Kebetulan
sapinya sudah tidak ada lagi. Kami bisa tidur di sini,” katanya.
Di
kandang itulah Renggo hidup sementara bersama keluarganya. Kasur
dipasang di tengah, berjejer dengan kompor. Setumpuk pakaian dijemur
pada tali yang terpasang antartiang kandang. Jemuran itu sekaligus untuk
menghalangi terpaan air hujan dan angin di malam hari.
Kandang
itu berukuran 3 meter x 3 meter, tanpa dinding, dan beralas tanah.
Atapnya dari seng rongsok. Jika hujan, air menetes ke kasur dan pakaian.
Renggo
berusaha menghibur kedua anaknya dengan memasang televisi kecil di
depan kandang. Menjelang malam, mereka masuk kandang, beristirahat tanpa
pelindung kelambu sekalipun. ”Untung masih ada kandang sapi yang
posisinya lebih tinggi daripada rumah sehingga dapat menjadi tempat
hidup kami sementara,” ujar petani dan pemungut barang rongsok itu.
Renggo
dan keluarganya tak mau mengungsi ke tenda yang disediakan pemerintah
karena harus menjagai tanaman padi yang mulai tumbuh bulirnya. Sawah
wajib dijaga. Hal serupa dilakukan Tumirah (35), tetangga Renggo. Dia
tidak mengungsi karena harus memberi pakan ternak sapi dan ayamnya.
Apalagi, jalan dari rumahnya yang terendam air ke kecamatan juga
digenangi air.
Menurut Kepala Seksi Tanggap Darurat Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Jambi Dalmanto, kondisi Jambi, khususnya
Kota Jambi, Siaga 2. Ketinggian muka air Sungai Batanghari di Pos Tanggo
Rajo, di depan rumah dinas gubernur Jambi, mencapai 14,30 meter.
Kondisi ini bertahan. Penurunan muka air dilaporkan hanya sekitar 10
sentimeter (cm) pada hari Rabu.
Sekitar 1.000 tenda darurat
didirikan dekat lokasi banjir dan longsor. Kondisi terparah terjadi di
Kota Jambi dan Kabupaten Muaro Jambi. Ribuan warga mengungsi di tenda
darurat, tetapi ada juga yang bertahan di sekitar rumah mereka.
Bertahan di Palangkaraya
Selain
di Jambi, tahun ini banjir merata di seluruh Indonesia. Ibar (40),
warga Jalan Riau, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pun termenung
menghadapi air bah yang sudah sepekan menggenangi rumahnya. Ketinggian
air sekitar 30 cm. Banjir terjadi karena Sungai Kahayan di dekat
rumahnya meluap. Jalan Riau terletak di Kelurahan Pahandut, Kecamatan
Pahandut.
Di kelurahan itu, sekitar 100 rumah terendam.
Permukiman di tepi Sungai Kahayan itu umumnya sudah kebanjiran lebih
dari sepekan. Selain Jalan Riau, beberapa perumahan, seperti di Jalan
Arut, Jalan Mendawai, dan Jalan Pelatuk I hingga VII, juga terendam
sehingga mengganggu aktivitas warga.
Kesukaran tak hanya terlihat
di sekitar rumah. Pengemudi kendaraan bermotor juga kerepotan. Di Jalan
Riau dan Jalan Mendawai, beberapa kendaraan bermotor antre untuk
melewati banjir. Pengemudi melaju perlahan agar cipratan air tak
mengenai warga sekitar. Mobil pun harus melintas bergantian.
”Banjir
terjadi lebih kurang setiap lima tahun. Terakhir kali, banjir di Jalan
Riau terjadi pada tahun 2008 dan berlangsung sekitar seminggu,” kata
Ibar.
Solihin (33), warga Jalan Flamboyan, Palangkaraya, juga
mengeluhkan banjir. Jalan di depan rumahnya tergenang dan tidak terlihat
dasarnya sama sekali. Ia tidak bisa memperkirakan sampai kapan banjir
terjadi. Jalan Flamboyan berada di tepi Sungai Kahayan yang belum
diaspal. Jalur itu hanya berupa tanah yang dikeraskan.
Jika
banjir surut, entah bagaimana keadaan jalan itu. Solihin berharap jalan
itu bisa lebih ditinggikan. ”Agar kendaraan bermotor bisa lewat. Tak
seperti sekarang, jalan mudah terendam,” ujarnya.
Rasyid Isa
(66), warga Jalan Mendawai, menambahkan, banjir mengganggu aktivitas
perekonomian. ”Pengantar barang bolak-balik ke Pasar Kahayan. Kalau
banjir, kendaraan pengangkut barang bisa terbalik,” tuturnya lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar